Gambar ilustrasi By : Zulfian
Suara isak tangis, terdengar dalam sunyinya malam. Isak yang terdengar menyakitkan. Dan suara itu berasal dari sebuah kamar. Kamar seorang gadis yang kini tengah berbaring memeluk gulingnya. Tangannya menggeram erat selimut. Menahan emosi yang bergemuruh dalam hatinya.
Dulu, ia tak pernah seperti ini. Hidupnya tak seperti ini. Tapi semenjak hari itu, hari dimana ia terhancurkan oleh hal yang paling ditakuti. Ia dihancurkan oleh hal yang ia takuti. Ia menjadi seperti ini. Sejak hari itu, ia selalu menangis dalam sunyinya malam. Menangisi hidupnya yang berubah hanya dalam sekejap waktu.
Tangisnya kini mulai mereda, Jam sudah menunjukan pukul 12.30 dini hari. Namun rasa kantuk tak dirasa oleh gadis itu. Gadis yang dulu sangat ceria itu, kini harus menelan beberapa pil pahit. Keceriaan yang ia punya dulu kini tergantikan oleh tangisan setiap malam.
Hancur… itulah yang kini ia rasakan
Gadis itu masih terdiam. Matanya menatap lurus ke depan. Tanganya semakin menggenggam erat selimut, air matanya kini kembali jatuh. Kemudian gadis itu mencoba memejamkan matanya. Berharap agar saat ia bangun itu hanyalah mimpi buruk.
Rembulan malam kini terganti oleh sang mentari, yang memancarkan cahayanya menerangi bumi ini. Gadis itu masih terlelap dalam tidurnya. Rasanya damai, jika ia berada di alam mimpi. Bukan seperti di alam yang ia tinggali sekarang.
Akhirnya suara alarm membuat gadis itu terjaga. Matanya terbuka dengan perlahan. Kemudian gadis itu bangkit untuk bangun. Berjalan sambil mengucek matanya. Dengan langkah gontai. Ia menuju ke kamar mandi yang berada di dekat kamarnya itu.
Setelah mandi dan berganti pakaian, gadis itu mengikat rambutnya yang panjangnya sebahu, tanpa polesan make up dan hanya mengenakan parfum saja. Setelah selesai ia berjalan keluar kamar dan menuju ke ruang makan untuk mencari makan.
Sesampainya di ruang makan, hatinya kembali sakit. Kosong, ruang makan itu kosong lagi. Kemana perginya keramaian itu? Dan kenapa sekarang tergantikan oleh kesunyian yang ada.
Gadis itu menghela nafas lelah. Kemudian duduk dan mengambil sehelai roti tawar yang sudah tersaji dan segelas susu. Ia memakan tanpa mengoleskan selai maupun mentega.
“Hambar.” gumamnya lirih
Seperti kehidupanku sekarang.
Lanjutnya dalam hati.
Setelah menghabiskan sehelai roti, ia tak lupa meminum susu dengan sekali teguk. Pura-pura bahagia memerlukan tenaga juga bukan? Kemudian ia berjalan keluar rumah, berjalan kaki menuju kampusnya. Kakinya tak lelah menapaki jalanan kota ini. Jarak dari rumah menuju kampusnya kira-kira memerlukan 1 km saja. Memang tak terlalu jauh.
Setelah sampai di depan kampusnya, gadis itu lantas masuk untuk menuju kelasnya. Dan ketika sudah memasuki kelasnya ia memilih duduk di bangku bagian belakang. Tepat saat ia duduk, suara ricuh memenuhi ruangan kelas tersebut. Membuat gadis itu menutup telinganya dengan earphone. Ia tak suka keramaian. Dulu memang suka dengan keramaian, sebelum kesunyian itu datang dalam hidupnya. Dengan rasa sedih yang masih menyelimuti hatinya, ia mencoba mengikuti mata kuliah yang diajarkan oleh dosennya. Meskipun tak satupun materi yang ia tangkap, gadis itu hanya mengikuti semuanya. Alur yang tercipta untuknya.
Waktu istirahat pun tiba, tetapi ia gunakan untuk duduk di bangkunya saja. Bersama alunan music yang di dengarnya melalui earphone tersebut. Mengeraskan volumenya sekeras mungkin, tak peduli nantinya dengan gendang telinga yang akan bermasalah. Yang paling penting, ia tak mendengar lagi suara ocehan dari teman-temanya yang jauh lebih merusak telinganya.
Dengan menyenderkan tubuhnya di kursi, memejamnya matanya sekejap saat merasakan perutnya yang terasa perih alias melupakan rasa lapar. Perih, itulah yang dirasakannya. Namun lebih perih lagi saat hatinya yang kini telah terhancurkan.
Ketika gadis itu melepas earphone yang menempel di telinganya, saat itulah ia mendengar suara bisik-bisik dari teman-teman sekelasnya.
“Dasar cewek menyedihkan. Lihatlah semakin hari semakin menyedihkan.”
“Cihh mayat hidup.”
“Mana ada yang mau berteman dengan mayat hidup.”
“Yang ada kita malah ikutan menyedihkan.”
“Gue sih ogah jadi temannya.”
“Lihatlah kantung matanya semakin mengerikan.”
“Dasar cewek lemah.”
Begitulah berbagai komentar yang di lontarkan oleh teman-temannya. Sudah menjadi hal biasa yang di dengarkannya. Dan ia terlalu lelah untuk menanggapinya, lebih baik ia diam saja.
Alice Deanda. Nama yang memiliki arti kuat dan tangguh itu, dijuluki sebagai gadis menyedihkan. Yang juga disebut mayat hidup oleh teman-temannya. Sejak 4 bulan yang lalu, tubuhnya memang sangat kurus. Bibirnya yang sangat pucat, kantung matanya yang semakin mengerikan. Begitu dengan tatapannya yang kosong.
Sejak kejadian 4 bulan lalu, saat dimana papah-nya tertangkap polisi karena kasus narkoba dan mamah-nya yang di juluki sebagai seorang pelacur. Dan berakhir dengan pisahnya rumah tangga mereka. Sejak saat itulah pondasinya runtuh. Seseorang pernah berkata, rumah tanpa lampu aja gelap, apalagi tanpa orang tua? Dan ternyata memang benar semuanya berubah begitu cepat sejak kejadian tersebut.
Tak seorang pun mau berteman dengannya. Bahkan sahabat yang dulunya selalu ada, kini juga meniggalkannya. Lantas harus berharap dengan siapa lagi? jika manusia bisa berubah kapan saja.
Dia tak tahu lagi, harus bagaimana lagi untuk hidupnya kini. Dia terlalu lelah untuk melewati ini setiap hari.
“Haruskah aku pergi Tuhan? Aku tak sanggup lagi. Ini sungguh menyakitkan. Aku lelah tuhan, aku ingin pulang. Aku ingin tidur panjang dalam ketenangan. Aku ingin meninggalkan luka ini. Aku sudah tak mampu memikulnya sendiri lagi. Ini terlalu berat Tuhan.”
Batin gadis itu dengan memejamkan matanya.
Penulis : Malikhatun Nafiah