Photo by: Kru Terma
Jagung merupakan tanaman palawija yang tumbuh subur di dataran rendah. Jagung juga dijadikan sebagai tanaman alternatif yang ditanam ketika musim kemarau tiba, karena jagung tidak membutuhkan begitu banyak air dan cenderung tahan terhadap cuaca panas. Dengan perawatan yang relatif mudah dan tidak membutuhkan modal besar. Bertani jagung cukup menguntungkan untuk ditekuni, karena dengan hanya kurun waktu 3,5 bulan dari waktu tanam, jagung sudah siap untuk dipanen.
Ada berbagai jenis tanaman jagung yang tumbuh di Indonesia seperti jagung hibrida, jagung komposit dan jagung transgenik. Jagung hibrida merupakan keturunan pertama dari persilangan dua tetua yang memiliki karakter/sifat yang unggul. Kemudian, jenis Jagung komposit atau biasanya disebut jagung lokal adalah jenis jagung yang pada zaman dulu ditanam petani setempat yang menyerbuk sendiri tanpa bantuan manusia. Sedangkan Jagung transgenik merupakan jenis jagung hasil dari penyisipan gen seperti gen tahan penyakit, gen tahan hama, maupun gen tahan obat kimia yang berasal dari makhluk hidup atau non-makhluk hidup sehingga tanaman itu menjadi tanaman super.
Berbagai jenis jagung ditanam di berbagai daerah dengan pemilihan jenis/verietas yang harus disesuikan dengan keadaan air yang tersedia dan curah hujan. Seperti halnya yang dilakukan masyarakat di Desa Tanggel, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah lebih memilih bertani jagung dikarenakan perawatan yang mudah dan minim risiko, jika dibandingkan bertani yang lain seperti tebu, ketela, dan lain-lain. Perawatan yang dilakukan dalam bertani jagung yaitu melakukan pemupukan dan penyemprotan obat tanpa melakukan pengairan. Adapun pemupukan dilakukan hanya 3 kali dalam sekali proses tanam dan dilakukan pada waktu jagung umur 15, 25, dan 35 hari saja. Sedangkan untuk proses penyemprotan hanya dilakukan saat terserang hama ulat saja.
Seorang masyarakat Desa Tanggel, Shobirin (45) mengatakan, “Untuk pendistribusian hasil panen tidaklah susah. Jika jagung sudah menginjak masa panen para pengepul biasanya akan langsung datang ke rumah dan memberikan penawaran untuk bertransaksi.” Seperti halnya masyarakat Desa Tanggel yang berprofesi sebagai petani jagung. Masyarakat meyakini bahwa bertani jagung dapat mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat.
Faktor yang menyulitkan petani jagung antara lain disebabkan karena cuaca dan keterbatasan kuantitas pupuk. Tanah yang gembur dan mengandung air yang cukup banyak tidak cocok untuk pertumbuhan jagung itu sendiri, karena jagung membutuhkan kontur tanah yang mengandung sedikit air dan cenderung kering. Terlebih ketika turun hujan ketika baru saja menebar benih, maka kegagalan sudah dapat dipastikan. Selain itu kebijakan pemerintah yang mengurangi kuantitas pupuk membuat para petani jagung kesulitan hingga memaksa para petani itu sendiri mencari pupuk alternatif untuk mencukupi kebutuhan pupuknya dengan harga yang lebih mahal.Varietas jagung yang ditanam di Desa Tanggel diantaranya nk312, nk132, nk212, bisi 18, dan lain-lain. Namun yang sangat digemari dan paling cocok untuk kontur tanah di Desa Tanggel adalah nk212 dan bisi 18 dengan harga yang lebih mahal sekitar Rp115.000,00.
“Pemerintah Desa tanggel sudah mendirikan kelompok tani. Namun kelompok tani di sini hanya melakukan pelatihan satu kali berupa teknik penanaman legowo dan hanya mengenai penanaman padi. Teknik penanaman legowo adalah teknik penanaman dengan memberikan ruang irigasi lebih besar dengan mengurangi kuantitas tanaman. Namun kuantitas hasil panen sama dengan teknik penanaman biasa dengan perbedaan hanya pada besar kecilnya jagung yang dihasilkan,” tutur Darsono.
Para petani berharap agar sulitnya mendapatkan subsidi pupuk dapat segera terselesaikan. Petani sangat kesulitan jika harus mencari sendiri kekurangan pupuk yang mereka butuhkan. Selain susah dicari, jika ada pun harganya cukup mahal.
Reporter: Thoriq dan Aan
Editor: Nika Aprilia