Sekolah Daring Memicu Pernikahan Dini
Selasa, 17 Juni 2025

Sekolah Daring Memicu Pernikahan Dini

KABAR TERMA
Sabtu, 19 Maret 2022


Photo source: https://bandungkita.id/2021/03/04/pernikahan-dini-di-kota-cimahi-tinggi-dinkes-jelaskan-resiko-dan-bahayany


Oleh: Isma


Akhir-akhir ini banyak kita dapati kasus pernikahan dini di berbagai daerah. Termasuk di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hal ini diungkap oleh Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Dinas Sosial Kabupaten Pati, Etik Tri Hartanti, bahwa di Pati terdapat 234 permohonan dispensasi nikah. Pernikahan pada usia 15-18 tahun ini salah satunya dipicu karena sekolah daring. Sekolah daring mengharuskan siswa untuk berdiam diri di rumah dengan banyaknya tugas yang diberikan. Anak cenderung merasa jenuh karena tidak bisa bersosialisasi langsung dengan teman-temannya. 


Dengan pembelajaran daring, anak lebih aktif memegang hp dan orang tua kurang bisa mengawasi anak dengan penuh. Sehingga pergaulan bebas akan mudah terjadi. Anak lebih bisa leluasa untuk keluar rumah dengan alasan jenuh. Kurangnya pengawasan orang tua, mengakibatkan anak bisa kebablasan dan menimbulkan hal negatif, misalnya tragedi hamil di luar nikah. Akhirnya kedua orang tuanya memilih untuk menikahkan anaknya tersebut.


Banyaknya kasus anak putus sekolah ini juga didasari oleh faktor ekonomi, orang tua yang sudah tidak memiliki pekerjaan karena diberhentikan akibat pandemi covid-19, sehingga sulit untuk memenuhi fasilitas penunjang pendidikan anak yang dilakukan secara daring. Banyak anak yang tidak mampu mengikuti pembelajaran secara daring, dari mulai kesiapan mental sampai fasilitas penunjang yang pada akhirnya anak akan memilih untuk berhenti sekolah.


Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, menyatakan bahwa pernikahan dini merupakan bagian dari bencana nasional. Saat ini, ada 1,2 juta kasus perkawinan dini yang menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dunia dari segi angka perkawinan anak secara global. 

Pada Januari-Juni 2020, 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah 19 tahun) diajukan, dan 33.664 diantaranya dikabulkan oleh pengadilan. Padahal, sepanjang 2019 hanya terdapat 23.700 permohonan.


Tentu pernikahan dini ini memberikan dampak yang kurang baik bagi remaja. Seperti terganggunya kesehatan reproduksi. Kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan resiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkolerasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara resiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan organ reproduksi anak belum berkembang dengan baik, salah satunya yakni panggul belum siap untuk melahirkan. Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%- 30% di antara persalinan di usia dini, disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urine atau feses ke dalam vagina. Selain itu, juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.


Kasus seperti ini tentu tidak bisa jika dibiarkan begitu saja. Harus ada penanganan mengenai hal ini. Kita perlu mendukung adanya Undang- Undang mengenai batas usia ideal untuk menikah. Dari keluarga, janganlah memandang bahwa perempuan itu sebagai beban keluarga dan merasa aman jika segera menikahkan anak mereka. Faktor ekonomi juga penting dalam hal ini. Progam beasiswa tentu sangat dibutuhkan oleh siswa yang terpaksa harus putus sekolah dikarenakan ekonomi keluarganya. 

Loading