Membumikan Literasi Bersama Pustaka Malam
Jum'at, 13 Juni 2025

Membumikan Literasi Bersama Pustaka Malam

KABAR TERMA
Kamis, 27 Januari 2022

 

    Pustaka Malam atau sering juga disebut Pusma adalah sebuah komunitas literasi yang berasal dari Pati yang mana kebanyakan anggotanya adalah anak-anak muda dari kalangan mahasiswa, anak-anak sekolahan dan ada juga sebagian dari mereka yang berprofesi sebagai pekerja.


    Logo Pustaka Malam bergambar bintang merah dan garis lengkung putih yang hampir mirip dengan nun. Logo tersebut memiliki filosofi tersendiri, yaitu bintang merah dari Che Guevara yang berarti kebebasan dan kesejahteraan, kemudian garis putih yang melengkung terinspirasi dari Cak Nun yang menggambarkan wadah (siapa pun boleh bergabung dengan komunitas ini dan siapa pun boleh mensejahterakan dirinya sendiri).

    Komunitas literasi ini sudah cukup lama berdiri, tepatnya terbentuk sejak 2 Agustus 2018. Terbentuknya komunitas literasi ini berawal dari keresahan seorang pemuda berperawakan tinggi besar dan berkumis tipis yang biasa dipanggil Faiz, dan salah satu temannya yang berambut gondrong dan agak kurus dengan gaya punk rock jalanan yang bisa dipanggil Bondes (Sherli). Kedua orang itulah yang menjadi penggagas terbentuknya komunitas literasi yang bernama Pusma (Pustaka Malam).


    Pada saat itu Pusma hanya beranggotakan 10 orang saja di antaranya: Bujel, Atak, Arka, Panji, Ipan, Anis, Biya, Demit. Namun pada tahun 2022 kini angotanya semakin bertambah banyak menjadi 35 orang. Awalnya mereka kebingungan ingin melakukan kegiatan apa di saat malam Minggu tiba. Ditambah keprihatinan mereka terhadap sedikitnya minat baca masyarakat Indonesia. Dari alasan itulah, hati mereka tergugah untuk membumikan literasi minat baca. 


    Sebelum Pusma melapak di Alun-alun Simpang Lima Pati, awalnya mereka menggelar lapak baca gratis di Desa Kemiri tepatnya di Pendopo Kemiri, Kecamatan Sarirejo, Kabupaten Pati dan hal itu hanya bertahan sekitar setahun. Kegiatan yang mereka sering adakan hanya setiap malam minggu saja.


    Selepas setahun melapak di Desa Kemiri, ada beberapa orang dari anggota mereka yang berasal dari Rembang akhirnya berinisiatif menggelar lapak sendiri di Rembang. Mereka beralasan jika ikut menggelar lapak baca di Pati terlalu jauh dari jarak rumah mereka, hingga kini terbentuklah juga Pusma Rembang.

    Sebelum direvitalisasi, dulunya Alun-alun Simpang Lima Pati masih digunakan oleh pedagang kaki lima untuk menjajakan dagangannya sehingga tempat itu menjadi pilihan komunitas Pusma untuk melapak. Mereka memilih melapak hanya pada malam Minggu karena di sana ada banyak masyarakat yang berlalu lalang walaupun hanya sekadar berkeliling di alun-alun untuk mencuci mata. Dari banyaknya orang yang berlalu lalang itu, anggota Pusma berharap ada sebagian di antara mereka yang mau singgah ke lapak kecil Pusma untuk membaca buku yang telah mereka gelar. Buku-buku yang mereka pajang adalah buku-buku koleksi pribadi milik anggota Pusma dan dari donatur yang dikumpulkan. Buku-buku yang mereka gelar jenisnya bermacam-macam, mulai dari buku politik, filsafat, novel, dan sebagainya.


    Waktu terus berputar dan Alun-alun pun direvitalisasi. Semenjak itu pun mereka memutuskan memindahkan lapak buku mereka di belakang GOR (Pusat Kuliner). Awalnya tidak ada hal yang aneh selama mereka melapak di sana. Hingga pada akhirnya suatu kejadian menimpa mereka. Ada selisih paham antara mereka dengan pedagang-pedagang di sana dikarenakan Pusma melapak tetapi tidak membayar uang sewa tempat sedangkan para pedagang harus membayar uang sewa tempat. Karena kecemburuan inilah ada oknum pedagang yang sempat cekcok dengan anggota Pusma. Namun Pusma mengalah karena mereka tidak mau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

    Tujuan mulia mereka membumikan literasi tentunya tidak berjalan dengan mudah, ada saja rintangan yang menghalanginya. Masalah itu terpecahkan karena ada teman mereka yang menjadi pedagang di Pusat Kuliner mengetahui hal itu lalu menempatkan Pusma untuk menggelar lapak buku mereka di depan warungnya saja.


    Pusma bukan hanya komunitas anak muda yang aktif dalam membumikan literasi saja, komunitas ini juga memiliki program-program dalam hal kemanusiaan dan sosial seperti mengajar anak-anak di desa. Biasanya komunitas Pusma menerima panggilan untuk mengajar anak-anak TK dan SD di desa pada Sabtu dan Minggu saat anak-anak libur sekolah.

    Anak-anak tersebut diajarkan membaca dan menulis, juga diselingi dengan kegiatan bermain. Tidak hanya itu, pada saat di alun-alun sebelum direvitalisasi mereka juga mengajar anak-anak PKL yang ada di sana. Ketika di belakang GOR (Pusat Kuliner) mereka melakukan hal yang sama. Akan tetapi, setelah alun-alun direvitalisasi, anak-anak didik mereka yang ada di sana sudah tidak mengikuti kegiatan belajar bersama Pusma. “Paling mereka datang hanya membaca buku-buku lalu pulang,” ujar Faiz.


    Program Pusma mengenai peduli kemanusiaan yang lainnya yaitu Segaras (Segengam Beras). Asal mula terwujudnya program ini adalah ketika salah satu anggota Pusma berada di Batangan seusai melapak di Rembang, kebetulan temannya memiliki tetangga seorang nenek tua renta yang waktu itu sakit-sakitan. Di usianya yang sudah senja, nenek itu sudah tidak diperhatikan oleh anaknya. Dia tinggal di rumah sendirian ditambah lagi telinganya memiliki masalah pendengaran. Hingga pada akhirnya salah satu anggota Pusma memberanikan diri untuk ke sana. “Ya Allah... ternyata berasnya tinggal segenggam,” ucap Fatra ketika menceritakan kejadian itu. Dari peristiwa tersebut muncul gagasan untuk membuat program Segaras (Segenggam Beras).


    Program Segaras yang dibuat oleh Pusma ini mengajarkan kita untuk berbagi kepada yang membutuhkan, dimulai dari hal yang kecil. Mengumpulkan beras segenggam demi segenggam hingga terkumpul banyak lalu disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, tentunya hal itu akan sangat bermanfaat. Program Segaras ini sudah dijalankan oleh Pusma sejak awal musim Covid-19. Mereka rutin menjalankan program Segaras ini sebulan sekali, terkadang jika banyak donatur program ini dapat berlangsung seminggu sekali.

    Tidak hanya Segaras, Pusma juga mempunyai program lain untuk membantu sesama yaitu “Pasar Gratis”. Asal-usul pasar gratis pertama kali terinspirasi oleh kegiatan di Bandung yang dilaksanakan oleh perpustakaan jalanan Bandung yang sangat terkenal pada waktu itu. Sebelum ada corona, perpustakaan jalanan Bandung itu selalu mengadakan semacam pasar gratis. Kegiatannya meliputi melapak buku, lalu menyediakan baju-baju dan beberapa sembako, makanan matang, mie instan, sayuran dan beras.


    Masyarakat yang membutuhkan berdatangan mengambil barang-barang itu dengan gratis karena mereka rata-rata orang yang terkena bencana dan yang kesulitan ekonominya. Bondes tergugah hatinya untuk membuat program seperti yang dilakukan oleh perpustakaan jalanan Bandung tersebut. Selanjutnya semua anggota Pusma berunding dan menyetujui untuk mengadakan pasar gratis. Dalam pengumpulan barang-barang bantuan, anggota Pusma membuat pamflet seperti halnya yang dilakukan saat menjalankan program Segaras. Mereka juga menuturkan bahwa pernah ada donatur dari luar negeri yaitu WNI yang bekerja menjadi TKW di Taiwan. Orang tersebut mengetahui adanya program dari Pusma melalui postingan Facebook di Group KAAP (Komunitas Anak Asli Pati).

    Hingga saat ini Pustaka Malam masih aktif melakukan kegiatannya. Yakni lapak baca gratis di malam Minggu, Segaras dalam kurun waktu sebulan sekali, dan pasar gratis yang juga dilakukan sebulan sekali. “Harapan ke depannya untuk masyarakat dan anggota Pustaka Malam semoga menambah kepedulian terhadap mereka yang masih memerlukan bantuan dan semoga yang ingin membantu donasi semakin banyak,” ucap Fatra.

 

Reporter: Farid

Editor: Roni

 



Loading