Pustaka
Malam atau sering juga disebut Pusma adalah sebuah komunitas
literasi yang berasal dari Pati yang mana kebanyakan anggotanya adalah
anak-anak muda dari kalangan mahasiswa, anak-anak
sekolahan dan ada juga sebagian dari mereka yang berprofesi
sebagai pekerja.
Logo Pustaka Malam bergambar bintang merah dan garis lengkung putih yang hampir mirip dengan nun. Logo tersebut memiliki filosofi tersendiri, yaitu bintang merah dari Che Guevara yang berarti kebebasan dan kesejahteraan, kemudian garis putih yang melengkung terinspirasi dari Cak Nun yang menggambarkan wadah (siapa pun boleh bergabung dengan komunitas ini dan siapa pun boleh mensejahterakan dirinya sendiri).
Komunitas literasi ini
sudah cukup lama berdiri, tepatnya terbentuk sejak 2 Agustus 2018. Terbentuknya
komunitas literasi ini berawal dari keresahan seorang pemuda
berperawakan tinggi besar dan berkumis tipis yang biasa dipanggil Faiz, dan
salah satu temannya yang berambut gondrong dan agak kurus dengan gaya punk rock jalanan yang bisa
dipanggil Bondes (Sherli). Kedua orang itulah yang
menjadi penggagas terbentuknya komunitas literasi yang bernama Pusma (Pustaka
Malam).
Pada saat itu Pusma hanya beranggotakan 10 orang saja di antaranya: Bujel, Atak, Arka, Panji, Ipan, Anis, Biya, Demit. Namun pada tahun 2022 kini angotanya semakin bertambah banyak menjadi 35 orang. Awalnya mereka kebingungan ingin melakukan kegiatan apa di saat malam Minggu tiba. Ditambah keprihatinan mereka terhadap sedikitnya minat baca masyarakat Indonesia. Dari alasan itulah, hati mereka tergugah untuk membumikan literasi minat baca.
Sebelum Pusma melapak di
Alun-alun Simpang Lima Pati, awalnya mereka menggelar lapak baca
gratis di Desa Kemiri tepatnya di Pendopo Kemiri, Kecamatan Sarirejo, Kabupaten Pati dan hal
itu hanya bertahan sekitar setahun. Kegiatan yang
mereka sering adakan hanya setiap malam minggu saja.
Selepas setahun melapak di Desa Kemiri, ada beberapa orang dari anggota mereka yang berasal dari Rembang akhirnya berinisiatif menggelar lapak sendiri di Rembang. Mereka beralasan jika ikut menggelar lapak baca di Pati terlalu jauh dari jarak rumah mereka, hingga kini terbentuklah juga Pusma Rembang.
Sebelum direvitalisasi,
dulunya Alun-alun Simpang Lima Pati masih digunakan oleh pedagang kaki lima
untuk menjajakan dagangannya sehingga tempat itu menjadi pilihan komunitas
Pusma untuk melapak. Mereka memilih melapak hanya pada malam Minggu karena di sana ada banyak masyarakat
yang berlalu lalang walaupun hanya sekadar berkeliling di alun-alun untuk
mencuci mata. Dari banyaknya orang yang berlalu lalang itu,
anggota Pusma berharap ada sebagian di antara mereka yang mau
singgah ke lapak kecil Pusma untuk membaca buku yang telah mereka gelar.
Buku-buku yang mereka pajang adalah buku-buku koleksi
pribadi milik anggota Pusma dan dari donatur yang dikumpulkan. Buku-buku yang
mereka gelar jenisnya bermacam-macam, mulai dari buku politik, filsafat, novel,
dan sebagainya.
Waktu terus berputar
dan Alun-alun pun direvitalisasi. Semenjak itu pun mereka memutuskan
memindahkan lapak buku mereka di belakang GOR (Pusat Kuliner). Awalnya tidak
ada hal yang aneh selama mereka melapak di sana. Hingga pada akhirnya
suatu kejadian menimpa mereka. Ada selisih paham antara
mereka dengan pedagang-pedagang di sana dikarenakan Pusma
melapak tetapi tidak membayar uang sewa tempat sedangkan
para pedagang harus membayar uang sewa tempat. Karena kecemburuan inilah ada
oknum pedagang yang sempat cekcok dengan anggota Pusma. Namun Pusma mengalah karena
mereka tidak mau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Tujuan mulia mereka
membumikan literasi tentunya tidak berjalan dengan mudah, ada saja rintangan
yang menghalanginya. Masalah itu terpecahkan karena ada teman mereka yang
menjadi pedagang di Pusat
Kuliner mengetahui hal itu lalu menempatkan Pusma untuk menggelar lapak buku
mereka di depan warungnya saja.
Pusma bukan hanya
komunitas anak muda yang aktif dalam membumikan literasi saja, komunitas ini
juga memiliki program-program dalam hal kemanusiaan dan sosial seperti mengajar
anak-anak di desa. Biasanya komunitas Pusma menerima panggilan untuk mengajar
anak-anak TK dan SD di desa pada Sabtu dan Minggu saat anak-anak libur sekolah.
Anak-anak tersebut
diajarkan membaca dan menulis, juga diselingi dengan kegiatan bermain. Tidak
hanya itu, pada saat di alun-alun sebelum direvitalisasi mereka juga mengajar
anak-anak PKL yang ada di sana. Ketika di belakang GOR
(Pusat Kuliner) mereka melakukan hal yang sama. Akan tetapi, setelah alun-alun
direvitalisasi, anak-anak didik mereka yang ada di sana sudah tidak mengikuti
kegiatan belajar bersama Pusma. “Paling mereka datang hanya membaca buku-buku
lalu pulang,” ujar Faiz.
Program Pusma mengenai
peduli kemanusiaan yang lainnya yaitu Segaras (Segengam
Beras). Asal mula terwujudnya program ini adalah ketika salah satu anggota Pusma
berada di Batangan seusai melapak di Rembang, kebetulan temannya
memiliki tetangga seorang nenek tua renta yang waktu itu sakit-sakitan. Di usianya yang
sudah senja, nenek itu sudah tidak diperhatikan oleh anaknya. Dia tinggal di
rumah sendirian ditambah lagi telinganya memiliki masalah pendengaran. Hingga
pada akhirnya salah satu anggota Pusma memberanikan diri untuk ke sana. “Ya Allah...
ternyata berasnya tinggal segenggam,” ucap Fatra
ketika menceritakan kejadian itu. Dari peristiwa tersebut muncul gagasan untuk
membuat program Segaras (Segenggam Beras).
Program Segaras yang dibuat oleh Pusma ini mengajarkan kita untuk berbagi kepada yang membutuhkan, dimulai dari hal yang kecil. Mengumpulkan beras segenggam demi segenggam hingga terkumpul banyak lalu disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, tentunya hal itu akan sangat bermanfaat. Program Segaras ini sudah dijalankan oleh Pusma sejak awal musim Covid-19. Mereka rutin menjalankan program Segaras ini sebulan sekali, terkadang jika banyak donatur program ini dapat berlangsung seminggu sekali.
Tidak hanya Segaras, Pusma
juga mempunyai program lain untuk membantu sesama yaitu “Pasar Gratis”.
Asal-usul pasar gratis pertama kali terinspirasi oleh kegiatan di Bandung yang
dilaksanakan oleh perpustakaan jalanan Bandung yang sangat terkenal pada waktu itu. Sebelum
ada corona, perpustakaan jalanan Bandung itu selalu mengadakan semacam pasar
gratis. Kegiatannya meliputi melapak buku, lalu menyediakan baju-baju dan
beberapa sembako, makanan matang, mie instan,
sayuran dan beras.
Masyarakat
yang membutuhkan berdatangan mengambil barang-barang itu dengan
gratis karena mereka rata-rata orang yang terkena bencana dan yang kesulitan ekonominya. Bondes tergugah hatinya untuk
membuat program seperti yang dilakukan oleh perpustakaan jalanan Bandung
tersebut. Selanjutnya semua anggota Pusma berunding dan menyetujui untuk
mengadakan pasar gratis. Dalam pengumpulan barang-barang
bantuan, anggota Pusma membuat pamflet seperti
halnya yang dilakukan saat menjalankan program Segaras. Mereka juga
menuturkan bahwa pernah ada donatur dari luar negeri yaitu WNI yang bekerja
menjadi TKW di Taiwan. Orang tersebut mengetahui adanya program
dari Pusma melalui postingan Facebook di Group KAAP (Komunitas
Anak Asli Pati).
Reporter:
Farid
Editor: Roni