Hangatnya mentari pagi berselimut
awan mendung menemani perjalanan kami menuju
gunung yang berlokasi di utara Lereng Muria. Pemandangan
alam perkebunan dan persawahan di sepanjang jalan menambah suasana menjadi
sejuk. Bermodal
sepeda
motor, sekitar satu
setengah jam
perjalanan dari pusat Kabupaten
Pati,
akhirnya kami
tiba di Pendopo
Desa Jrahi Kecamatan Gunung Wungkal.
Desa Jrahi merupakan salah satu desa
wisata di Kabupaten Pati yang dibuka secara resmi pada Desember 2020. Desa itu memiliki
daya tarik seperti alam, religi agro wisata
dan juga kerukunan antar umat beragama menjadikan desa ini mendapat julukan
Desa Pancasila. Desa Jrahi dihuni oleh penganut agama Islam, Kristen, Hindu,
Budha, dan aliran kepercayaan Sapto Darmo.
Pagi itu (14/11/2021), kami bertemu pria paruh baya yang bernama Suparlan
(57) selaku Ketua Pengelola Wisata Pancasila di Desa Jrahi. Perjalanan dilanjutkan berjalan kaki melalui akses
jalan setapak menuju sebuah warung sederhana untuk menemui Warsito (59) selaku
salah satu pengelola. Perjalanan menuju warung diwarnai berbagai jenis bunga di
sekitar pagar bambu. Terlihat beberapa wisatawan lokal tampak sedang
beristirahat sambil menikmati secangkir kopi. Kemudian kita menuruni puluhan
anak tangga di dekat warung menuju gua Gonggo Mino. Sembari berjalan, kami
melihat beberapa pohon jambu sudah berbuah dan siap dipanen.
Setelah sampai, kami duduk
di bawah pohon jambu sesekali mengobrol mengenai gua. Gua Gonggo Mino di Desa Jrahi menyuguhkan suasana yang menyenangkan hati, kicauan burung bersahutan, suara gemericik air sungai dan tebing yang menjulang. Bermeditasi di sini tampaknya bukanlah hal buruk
ketika jiwa butuh ketenangan. Hiruk pikuk kota bisa terlepas saat menikmati
pemandangan alam hijau dan asri.
Dari luar, gua terlihat
kecil dengan luas mulut gua sekitar empat meter persegi. Dihiasi
ornamen bambu hitam juga akar menggantung. Begitu memasuki gua, terdapat dua
gentong
dan dua kendi
untuk menampung air yang merembes dari dinding. Air dalam kendi bisa
diminum langsung oleh pengunjung sementara yang ada di gentong digunakan untuk
membasuh muka, mencuci tangan serta kaki. Maksud dari itu semua guna
membersihkan diri dari kotoran juga nasib buruk. Keduanya terletak di bawah batu kecil tempat
bersemedi.
"Di sini paling ramai
malam satu Suro, hari biasa paling satu atau dua orang yang bertapa," tutur Warsito.
Sembari bertanya mengenai gua, ada pengunjung ikut
menyimak penjelasannya. Kami disuguhi jambu
lumut sembari mendengarkan penjelasannya. Warsito
memaparkan
mengenai sejarah gua dahulu untuk bertapa saat pewayangan pakesit. Selain itu
digunakan untuk menyembunyikan hasil bumi saat penjajahan Belanda di Indonesia.
Saat mengunjungi gua, wisatawan harus bersikap sopan dan
bertutur kata baik. Karena tempat ini dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.
Seperti tempat meditasi lainnya, suasana sedikit mistis
pun terasa begitu memasuki gua.
Gua Gonggo Mino dikembangkan pada bulan Desember 2020 dengan dana pribadi oleh Warsito. Dananya sendiri menghabiskan sekitar seratus juta rupiah
untuk membangun akses jalan, spot foto juga warung. Biaya yang terbilang banyak untuk mengelola tempat
wisata alam. Banyak pohon jambu, durian juga kopi di sekitarnya guna menambah
daya tarik gua. Dengan demikian bisa menarik pengunjung untuk dating, entah sekadar
melihat gua atau memetik buah-buahan. Harga tiket untuk mengunjungi gua
terbilang sangat murah yakni tiga ribu rupiah per orang sedangkan untuk anak-anak gratis.
“Ingin
bantuan dari pemerintah dari segi infrastruktur, ya karena akses jalan masih
kurang baik. Rencana juga mau ada ojek. Agar nantinya ada lebih banyak pengunjung,“ jelas Warsito dengan tersenyum.
Reporter: Uus
Editor: Roni