Kamis (30/12), burung perkutut merupakan burung yang umum dipelihara masyarakat, burung ini mempunyai suara anggungan yang merdu. Burung perkutut biasa dipelihara oleh kalangan orang tua, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan banyakknya kontes burung perkutut di setiap daerah. Tidak sedikit pula dari kalangan muda yang mencintai burung ini. Bahkan saat ini sudah banyak komunitas yang terfokus pada burung perkutut. Salah satu komunitas yang ada di Pati yaitu PATIKAL (Paguyuban Pati Kutut Lokal).
Seiring dengan
mulai banyaknya penggemar burung bersuara merdu itu, maka hal tersebut dijadikan
peluang usaha. Salah satunya pembuatan sangkar burung klasik. Sukiman, warga
Desa Asempapan, Trangkil, Pati mengbzbambil
peluang tersebut sebagai usaha barunya. Dikarenakan pada waktu itu perekonomian
keluarganya yang sedikit demi sedikit menurun.
Dalam komunitasnya
Sukiman sering disapa dengan panggilan Lek Man. Motivasi awal membuat sangkar
perkutut yaitu dari keinginannya memiliki sangkar perkutut klasik khas Pati,
tetapi tidak mampu untuk membelinya karena harga yang tinggi dipasaran. Pada
tahun 2018 ia mulai belajar dan menemui beberapa pengrajin sangkar klasik khas
Pati yaitu Mashudi dan Mbah Giono. Dari situ Lek Man diajari berbagai macam
motif dan bentuk dari sangkar khas Pati. Pada awalnya ia membuat hanya untuk
koleksi pribadi, namun lama kelamaan ia mulai memasarkan hasil kerajinannya.
Yang membedakan sangkar
khas Pati dengan daerah lainnya yaitu yang pertama, menggunakan ukiran iras
(tidak sambungan) mulai dari jeruji hingga tiangnya. Kedua, memilih bambu apus
yang sudah tua sebagai bahan utama agar mampu menjaga kualitas sangkar. Ketiga,
bentuk sangkar khas Pati ada 2 macam kubah dan mataraman. Untuk membedakan
keduanya dapat kita lihat dari atapnya. Mataram atapnya cenderung pendek,
pesek, dan atasnya ditutup dengan kain. Sedangkan kubah atapnya berbentuk
cembung dan atasnya dilapisi semen atau kompon.
“Untuk pemasangan
tiang maupun jeruji tidak boleh sungsang atau terbalik. Dikarenakan menurut
filosofinya jika burung menempati sangkar tersebut burung tidak nyaman bahkan
terkadang sampai ada yang mati,” Tutur warga Asempapan saat ditemui di rumahnya.
Dalam pembuatan
sangkar selain menggunakan bambu, juga membutuhkan rotan sebagai lingkaran kerangka sangkar. Untuk
alas dibutuhkan bambu yang dipipihkan sehingga dapat dianyam. “Ukuran standar
diameter yang biasa saya gunakan yaitu bawah 36 dan atas 42 supaya burung
leluasa dalam bergerak,” Ujar Sukiman.
Ia memasarkan
sangkar klasik karyanya dengan berjualan secara online atau dengan mengikuti berbagai event perkutut atau sering
disebut dengan gantangan. Sehingga calon pembeli dapat melihat hasil kerajinan
sangkarnya secara langsung. Pembeli tidakhanya dari kota Pati saja melainkan
sudah sampai keluar kota Pati. Seperti, Kudus, Purwodadi, Rembang, Malang,
hingga Bali.
Pembuatan satu
sangkar perkutut klasik khas Pati ini membutuhkan waktu 2 minggu sampai 1 bulan
tergantung tingkat kerumitan sangkar. Dan juga dalam pembuatannya ia sedikit
menggunakan bantuan mesin dikarenakan untuk mempercepat proses pembuatan.
Untuk harga,
persangkar ia patok dari Rp 500,000 ribu
hingga Rp 1.500,000. “Tergantung tingkat kerumitan model, ukiran, dan
pengecatannya,” Tambah laki-laki berusia 45 tahun itu.