Beberapa sektor ikut berubah seiring dengan merebaknya pandemi covid-19 di negeri ini. Tak terkecuali pada sektor pendidikan. Sistem pembelajaran yang semula dilakukan dengan tatap muka secara langsung alias Luar Jaringan (Luring), kini bermetamorfosis menjadi Dalam Jaringan (Daring).
Hal tersebut dilakukan supaya proses pembelajaran tetap berjalan dengan baik. Sehingga tujuan pendidikan yang salah satunya adalah mencerdaskan bangsa, dapat tercapai. Apapun itu, semoga ilmu yang coba ditransfer dapat benar-benar sampai ke si objek pendidikan itu sendiri.
Namun, pengalihan sistem pembelajaran yang telah diterapkan tampaknya memiliki beberapa kendala yang kerap kali saya alami. Berikut akan saya paparkan tiga kendala dalam pembelajaran.
1. Kendala Sinyal
Di saat saya sedang asyik mendengarkan pemaparan dari dosen via daring, eh tiba- tiba sinyal hilang. Otomatis saya rugi, bukan karena pendengaran saya yang terganggu, tetapi tidak adanya sinyal membuat pemaparan terjeda. Nah, kalau sudah seperti itu, proses perkuliahannya kurang efektif bukan ?
2. Kendala Kuota
Selain harus menyisihkan uang untuk melunasi Uang Kuliah Tunggal (UKT), pembelajaran daring memaksa saya untuk menukar uang jajan menjadi uang kuota. Pasalnya, kebutuhan kuota mengalami peningkatan yang berbanding lurus dengan merajalelanya pembelajaran daring. Hampir semua dosen memakai sistem ini. Andaikan ada subsidi kuota di kampusku, mungkin akan sedikit terangkat beban di pundak ini.
3. Kurang Konsentrasi
Perkuliahan melalui media itu memang tidak bisa konsen seperti saya tatap muka langsung dengan dosen di kelas. Apalagi kalau ketemu dosen yang kiler, ngantuk sedikit aja disuruh keluar cuci muka. Berbeda saat kuliah dari rumah alias daring. Perkuliahan daring bisa dilakukan secara multitasking alias sambil melakukan kegiatan yang lain. Kuliah online sambil balas pesan WhatsApp, sambil makan, bahkan sambil kerja.
Keren sih iya, tetapi hal itulah yang menyebabkan konsentrasi pada perkuliahan menjadi terbagi. Sehingga fokus berkurang. Apalagi kalau pembelajarannya sekadar diskusi via grup WhatsApp . Cukup absen, lalu kabur seperti dikejar mantan pacar.
Dari berbagai kendala di atas, kita tampaknya harus putar otak untuk menyiasatinya. Bukan memanjakan diri atau bermalas-malasan dengan dalih kendala kuliah online.
Satu hal yang saya pikir penting untuk diterapkan di otak para pelajar. Adanya kendala bukanlah penghalang, tetapi tantangan untuk kita memperjuangkan. Semoga embel-embel agen of change yang melekat pada mahasiswa dapat terimplementasi dengan baik. Bukan hanya cap fatamorgana, tetapi benar-benar melekat di sanubari. (AC/DAL)